Oleh
A. Sudradjat1)
ABSTRAK
Produksi tiram di Indonesia hampir semuanya dihasilkan dengan cara pengambilan dari alam. Budidaya tiram secara insidentil dilakukan nelayan pada beberapa tempat di pulau Jawa/Madura. Kegiatan penelitian dan pengembangan budidaya tiram pada saat sekarang masih bersifat percobaan.
Pembahasan pada tulisan ini ditekankan pada keadaan sumber/distribusi tiram, ling-kungan perairan, percobaan yang pernah / sedang dilakukan, hambatan yang dihadapi dan rencana kerja penelitian dan pengembangan budidaya tiram di kepulauan Riau.
1. PENDAHULUAN
Usaha budidaya tiram oleh masyarakat Indonesia belum begitu dikenal, tidak seperti halnya pada budidaya ikan dan kerang yang sudah banyak diketahui. Masyarakat nelayan memanen atau mengumpulkan tiram dari alam untuk dimakan sendiri atau dijual. Pada beberapa tempat di Kepulauan Riau sudah ada nelayan yang mengumpulkan tiram untuk dipasarkan ke Tanjung Pinang dalam bentuk dagingnya dan ada pula yang memasarkan ke Singapura dalam bentuk masih dengan cangkangnya.
Penelitian dan percobaan budidaya tiram di Indonesia sudah banyak dilakukan, pada umumnya penelitian mengenai waktu pemijahan, pengumpulan benih dan pertumbuhan tiram. Percobaan yang dilakukan di P. Pari ( Kepulauan Seribu ) dan Teluk Banten dilaporkan oleh Ismail dan Subagjo ( 1974 ), Kastoro ( 1975 ), Fatuchri et al. ( 1975 ), dan Fatuchri (1976a, 1976b ). Danakusumah ( 1979 ) melaporkan studi pengumpulan benih tiram di Gagara Menyan / Subang dan Wouthuyzen ( 1983 ) melakukan penelitian pendugaan saat pemanenan dan pemijahan tiram di perairan Ambon dan sekitarnya.
Dalam rangka kegiatan INFIDEP ( Indonesia Fisheries Development Project ) di Kepulauan Riau, Proyek Pembinaan Sumber Hayati Perikanan Pusat bekerja sama dengan Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Tanjung Pinang, pada tahun 1983 telah melakukan percobaan pengumpulan benih tiram di perairan Bintan Selatan dengan menggunakan kolektor asbes dan kayu ( Sudradjat et al. , 1984 b ). Hasil dari percobaan ini masih belum bisa dikembangkan lebih lanjut.
Uraian dalam tulisan ini dimaksudkan untuk membadingkan hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang telah dicapai dan permasalahan yang dihadapi sebagai bahan pemikiran untuk pengembangan budidaya tiram di Kepulauan Riau.
1) Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai Tanjung Pinang.
2. LOKASI DAN LINGKUNGAN
Penentuan lokasi untuk kegiatan usaha budidaya tiram dipertim bangkan atas beberapa faktor :
Dengan dasar pertim bangan faktor-faktor tersebut, beberapa lokasi di Kepulauan Riau telah diteliti dan kemungkinannya cukup baik untuk lokasi kegiatan budidaya tiram ( Sudradjat et al., 1984 ) :
Di Kepulauan Riau, tiram banyak ditemukan pada perairan teluk dangkal ( inlet ) dan selat-selat yang tidak terpengaruh oleh ombak atau angin yang kuat. Pada perairan selat, aliran air lebih banyak dipengaruhi arus pasang surut. Dari hasil survai yang telah dilakukan di kepulauan Riau, salinitas air laut berkisar antara 24 – 34‰. Salinitas rendah terdapat di daerah teluk/inlet yang banyak dipengaruhi aliran air sungai, dan salinitas tinggi terdapat di perairan terbuka. Derajat keasaman ( pH ) antara 5,1 – 8,1 dan kandungan oksigen berkisar antara 4,5 – 6,6 mg/1 ( Sudradjat et al., 1984a)
Glude et al., 1981 melaporkan bahwa konsentrasi netrat di perairan Kepulauan Riau berkisar antara 1,55 – 2,45 mg/1 pada daerah selat dan teluk yang tertutup, hal ini menunjukkan produktivitas perairan sedang sampai tinggi. Di perairan yang terbuka konsentrasi nitrat berkisar 0,43 – 1,29 mg/1, dan ini sebagai indikator produktivitas rendah.
3. JENIS TIRAM
Jenis tiram terutama banyak ditemukan diperairan Kepulauan Riau adalah terdiri dari :
Crassostrea cuculata, biasanya hidup menempel pada akar pohon bakau, pancang/tiang kelong/bagan, pancang beton pelabuhan atau pada batu-batu di pantai. Tiram ini berukuran maksimum 4 cm. Kalau menempel pada akar bakau di bagian atas “intertidal”, tapi akan tumbuh cepat mencapai panjang 6 – 8 cm kalau menempel pada garis bawah intertidal. Glude et al., 1981 menyebutkan jenis tiram ini sebagai Crassostrea glomerata, C. commersialis dan C. tuberculata yang banyak terdapat di Australia, Selandia Baru, Fiji, Palau dan tempat - tempat lain di Pasifik.
Crassostrea iredalei, merupakan jenis tiram yang cukup baik untuk dikembangkan, berukuran besar dan laju pertumbuhan cepat. Untuk mencapai ukuran pasar 5 – 6 cm diperlukan waktu 6 – 8 bulan atau berukuran 8 – 9 cm dalam waktu satu tahun. Budidaya C. iredalei di Philipina sudah berkembang. Di Kepulauan Riau jenis tiram ini ditemukan di perairan sekitar Tanjung Pinang.
Crassostrea echinata, ditemukan di seluruh Pasifik, merupakan salah satu jenis tiram yang berukuran besar, mencapai 20 cm. Metoda budidayanya belum berhasil dikembangkan. Jenis ini biasanya banyak terdapat campur dengan jenis C. cuculata.
Crassostrea mordax (the pink oyster), cangkangnya tebal dan sulit untuk dibuka, biasanya menempel pada batu-batu di daerah pasang surut. Terdapat juga di beberapa negara di Pasifik. Metoda budidayanya belum berkembang.
Crassostrea melabonensis, hanya ditemukan sekitar pelabuhan Tanjung Pinang, berukuran 7,8 – 8,5 cm. Di Philipina ukuran tersebut sudah mencapai ukuran maksimum, sebab ukuran panjang untuk dipasarkan sekitar 3,5 – 5,0 cm ( Glude et al., 1981 )
4. PENGUMPULAN BENIH
4.1 Bahan kolektor
Benih/spat tiram biasanya akan menempel pada benda yang keras (kering), permukaan halus dan tidak dilapisi oleh benda yang lembek seperti lapisan lumpur. Pada umumnya semua benda yang sifatnya seperti di atas bisa ditempeli benih tiram. Kolektor yang digunakan di sesuaikan dengan keadaan setempat, mudah diperoleh dan harganya murah; biasanya digunakan kepingan batu, cangkang tiram/kerang, kayu persegi, bambu, ranting pohon bakau, genting, tempurung kelapa, balok semen, lembaran asbes dan lain-lain. Menggunakan lembaran asbes, sebagai kolektor harganya mahal, penggunaan barang tersebut sekarang ini atas pertimbangan untuk pengukuran standar luas permukaan kolektor ( 10 × 10 cm2 ). Kolektor yang dilapisi semen, hasilnya lebih baik daripada yang tidak dilapisi semen sebagai pengumpul spat tiram (Fatuchri et al., 1975).
4.2 Waktu pemasangan
Pemasangan kolektor waktunya sangat erat hubungannya dengan saat pemijahan atau tersedianya larva/spat tiram di air. Kalau pemasangan kolektor terlalu awal, akibatnya pada saat larva banyak, kolektor sudah banyak diliputi oleh benda-benda lain, kalau pemasangan kolektor terlambat akibatnya larva yang tersedia di perairan tersebut sudah berkurang.
Terdapat beberapa cara menentukan saat pemijahan tiram, yaitu mengamati prosentase tiram yang matang gonad, menghitung densitas larva tiram dari suatu perairan ( dengan menggunakan plankton net ) dan menghitung rata-rata spat yang menempel pada kolektor per satuan luas permukaan. Dengan diketahuinya saat-saat pemijahan, maka pemasangan kolektor bisa diatur pada waktu yang tepat. Perkiraan puncak-puncak saat pemijahan tiram pada beberapa lokasi bisa dilihat pada Tabel 1.
Puncak saat pemijahan untuk masing-masing lokasi tidak persis sama, demikian juga untuk satu lokasi dari tahun ke tahun tidak selalu sama. Kegiatan tiram memijah dipengaruhi perubahan yang tiba-tiba dari kondisi lingkungan perairan, terutama faktor curah hujan, suhu dan salinitas.
Lokasi | Waktu pemijahan | Keterangan |
Teluk Banten | Jan - Peb.; April - Juni; Agustus - Nopember | Tingkat kematangan gonad. Fatuchri et al. 1976a. |
P.Pari | Mei - Juni dan Agustus 72 Jan. - Peb. 1973 | Puncak pemijahan. Kastoro, 1975 |
Gegara Menyan, Subang | Nop. - Des. | Penempelan spat, Danakusumah, 1979 |
Perairan Singapura | April - Juni, Agustus - Sept. - Des. | Tan, 1970 vide Fatuchri et al., 1976 a. |
Perairan P.Bintan | April - Juni;Nop - Des | Sudradjat et al., 1984b |
P.Ambon dan sekitarnya. | Maret - April, Juni, Des | Wouthuyzen, 1983. |
5. PERTUMBUHAN
Penelitian pertumbuhan C. cuculata di perairan Teluk Banten pernah dilakukan oleh Fatuchri ( 1976 b). Spat tiram yang menempel pada tempurung kelapa setelah berumur 1½ bulan dicongkel untuk dipindahkan pada keranjang plastik, kemudian setelah agak besar dipindahkan lagi pada keranjang kawat berukuran mata 0,5 × 0,5 cm2. Pertumbuhan mendekati 5 cm setelah berumur 12 bulan. Pada perairan yang sama, Ismail dan Subagjo (1974) melaporkan bahwa pertumbuhan tiram (Crassostrea spp) yang menempel pada kolektor asbes di perairan Selat Dompak ( Bintan Selatan ) mencapai panjang 3,5 cm dalam waktu dua bulan. Untuk jenis tiram lainnya di Pamanukan, panjang cangkang mencapai 7,7 cm dalam waktu 6–7 bulan (Andamari et al., 1982).
Pengamatan pertumbuhan tiram yang dilakukan di Teluk Banten dan perairan Bintan tidak bisa diamati sampai berukuran besar, karena setelah tiram berumur 2 – 3 bulan banyak yang mati ( 80 % ) disebabkan oleh organisme penggerek, termasuk juga beberapa jenis kepiting.
Laju pertumbuhan C. cuculata relatif lambat jika dibandingkan dengan jenis lain yang banyak terdapat di perairan tropis seperti C. belcheri dan C. iredalei.
Percobaan pemeliharaan tiram yang benihnya diambil dari akar pohon bakau atau dari pancang kayu kelong/bagan hasilnya tidak memuaskan. Selama dua bulan tiram diperlihara pada keranjang plastik atau kawat, rata-rata panjang tiram tidak ada kenaikan.
6. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Dari segi teknis, masih ada permasalahan yang dihadapi selama percobaan budidaya tiram di Kepulauan Riau, yaitu :
Hambatan tersebut baru mencakup perihal pengumpulan spat tiram dan percobaan pengamatan pertumbuhan sebagai dasar untuk percobaan budidaya tiram tahap selanjutnya. Permasalahan ini sedang diusahakan pemecahannya, sesuai dengan rencana kerja 1985 – 1988.
Disamping adanya sumber tiram dan lingkungan perairan yang diperkirakan cukup baik untuk pengembangan budidaya tiram (dengan pelbagai permasalahan teknis yang dihadapi), masih ada hal-hal lain yang bisa mendukung pengembangan budidaya tiram :
Dari pertimbangan - pertimbangan tersebut di atas, pengembangan budidaya tiram di Kepulauan Riau dimasa mendatang cukup baik. Upaya yang dilakukan antara lain adanya kerjasama dalam penelitian budidaya kerang-kerangan dengan IDRC selama tiga tahun (1985–1986), pengetrapan teknologi budidaya tiram dari beberapa negara tetangga yang telah berhasil membudidayakan kerang-kerangan.
DAFTAR PUSTAKA
Andamari, R.M. Unar and M. Fatuchri, 1982. Present Status of Bivalve culture in Indonesia; Bivalve Culture Workshop, IDRC, Singapore 16 – 19 Feb. 1982.
Danakusumah, E. 1979. Suatu studi mengenai “spat fall” tiram daging Crassostrea cuculata di perairan Gagara Menyan, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat LPPL. 1/76 - PL, 06/79;35–48.
Fatuchri, M. Ismail, and Wasilun, 1975. A study of Crassostrea cuculata BORN in Banten Bay, in relation with its possibility for culture. LPPL 2/75 - PL, 057/75; 76 – 101.
Fatuchri, M. 1976a. Perkiraan waktu pemijahan tiram (C. cuculata) di perairan T. Banten. Lap. Pen. Perikanan Laut No.
Fatuchri, M. 1976 b. Pertumbuhan tiram (C. cuculata) di perairan Teluk Banten. Lap. Pen. Perikanan Laut No.
Glude, J.B., Ichsan Santika and A. Sudradjat, 1981. The potential for Seafarming in the Riau Archipelago District of Indonesia. Draft Report. 67 p.
Ismail, E, Dan B. Subagjo, 1974. Percobaan pengumpulan benih (spat) tiram (oystar) di Pulau Pari dan Teluk Banten. Seminar Peningkatan Sumber-sumber perikanan untuk pengelolaan dan pengolahannya. Jakarta, 1 Maret 1974, 24 hal.
Kastoro, W. 1975. Pemijahan tiram C. cuculata BORN di perairan Gugus Pulau Pari. Oseanologi di Indonesia 5;43 – 53.
Sudradjat, A. , Philip Teguh dan Hizboellah Oedin. 1984 a. Penelitian Lokasi Budidaya Laut di Kepulauan Riau. Laporan Balai Penelitian Perikanan Laut, 21 hal (tidak diterbitkan).
Sudradjat, A. Hizboellah Oedin dan Siti Nuraini, 1984 b. Penelitian Pendahuluan Penempelan spat tiram (Crassostrea spp) pada kolektor asbes di perairan Bintan Selatan, Riau. Laporan Balai Penelitian Perikanan Laut (tidak diterbitkan).
Sudradjat, A. , Lilik Sucipto dan Budi Iskandar P.S. , 1985. Pertumbuhan tiram, Crassostrea echinata pada kolektor asbes dan kolektor asbes dan kayu. Laporan Balai Penelitian Budidaya Pantai (tidak diterbitkan).
Wouthuyzen, S. 1983. Pendugaan Saat Pemanenan dan Pemijahan Tiram (Crassostrea cuculata BORN) Berdasarkan Analisa Faktor Kondisinya. Kongres Biologi VI, Surabaya; 312–330.